Langsung ke konten utama

Merintis Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Papua

Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Somografi, perbatasan Papua

Letak geografis dan belum terbukanya akses jalan menyebabkan kampung Somografi sedikit terbelakang dibanding kampung lain.

Guru Gody bersama murid SD YPPK Akarinda Somografi, Carlos dan Hasan 

Semangat dari Pak Gaudif Fridus Usna’at, atau yang akrab disapa Guru Gody, pengajar di SD YPPK Akarinda Somografi membuat Tim Nusantara Sehat Puskesmas Ubrub berinisiatif mengumpulkan buku sebagai media informasi edukasi bagi anak-anak. Awalnya kami mengumpulkan buku-buku bacaan dari kerabat dan teman-teman, sampai pada akhirnya dr. Lilis Sinambela menemukan akun BUP (Buku Untuk Papua), mendapatkan kontak foundernya, Dayu Rifanto, atau yang hangat disapa Mas Dayu, yang ternyata berasal dari Nabire Papua, lalu kerjasama pun terjalin untuk mendirikan rumah baca. Melalui Buku Untuk Papua, kampanye donasi yang dibuka di situs kitabisa.com memperoleh apresiasi tinggi dari donatur diseluruh Indonesia. Hampir 400jenis buku anak dan bacaan umum terkumpul dan tak kalah membahagiakannya kami dapat mendirikan rumah baca dengan donasi sebesar 13 juta rupiah. Terimakasih kitabisa.com BUP dan tentunya sahabat dipenjuru Indonesia.

Anak Murid SD YPPK Akarinda Somografi 

Buku yang terkumpul akhirnya dikirimkan secara kolektif oleh pihak BUP langsung ke Sentani. Pendistribusian buku-buku ke Somografi tentunya menjadi hal yang tidak mudah, mengingat belum adanya akses jalan kesana. Berkat bantuan kerjasama dari masyarakat dan satgas Yonif 406/CK perbatasan Papua, buku-buku tersebut bisa sampai ke pedalaman Somografi dengan cara dipikul buku demi buku melewati gunung, hutan dan sungai-sungai.
(Mamae.. bawa diri saja ke Somografi pu susae, apalagi pikul buku 😂) 


Dr. Lilis bersama anak-anak Somografi
Sesuai kesepakatan bersama, rumah baca ini kami beri nama Jendela Somografi. Dengan harapan buku-buku ini dapat menjadi jendela dunia bagi masyarakat khususnya anak-anak Somo. Awalnya buku dikumpulkan di salah satu ruangan di sekolah yang telah diperbaiki dan memiliki lemari buku sederhana dengan meja dan kursi baca, namun mengingat kondisi dan situasi yang kurang aman dan agar buku dapat terawat dengan baik, maka buku dipindahkan di rumah guru Gody.


Anak Somografi asyik melihat-lihat gambar buku-buku Jendela Somografi

Anak-anak antusias ke rumah Pak Gody, setiap pulang sekolah rumah baca Jendela Somografi selalu ramai dikunjungi anak-anak, remaja, maupun ibu dan bapa-bapa. 

Bahkan kata Pak Gody adik-adik Carlos tidak mau pulang ke rumah lantaran asyik bersama buku-buku. Hingga malam tiba pun mereka tetap membaca buku padahal hari sudah gelap pencahayaan kurang karena belum masuknya listrik disana, untunglah ada Solar Cell sebagai sumber tenaga lampu di rumah baca, tidak jarang pula anak-anak membaca dengan penerangan lampu minyak atau pelita seadanya. Tentu ini menjadi semangat yang patut ditularkan kepada anak-anak seluruh Indonesia. 



Cerita-cerita anak-anak Somografi dan Jendela Somografi akan berlanjut 😉



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Borobudur warisan bersejarah

Nah ini nih ! Warisan bersejarah yang patut dilestarikan. Nenek moyang kita ternyata mempunyai peradaban yang tinggi,ini terbukti. Dengan adanya peninggalan-peninggalan bersejarah, antara lain bangunan-bagunan, benda-benda,perhiasan, dan karya sastra. Kita patut bangga mempunyai peninggalan sejarah yang tidak dimiliki oleh negara lain, contoh yaitu Candi. Candi Borobudur dan Prambanan merupakan contoh kecil paninggalan sejarah yang bernilai luhur terkenal sejagad raya. Bayangkan saja, tahun 800-an bukan zaman orang mengenal teknologi secanggih saat ini, tetapi nenek moyang kita mampu membuat bangunan semegah candi borobudur, lalu bagaimana cara pembuatannya ? siapa yang memiliki gagasan membuat candi semegah itu ?, dan untuk apa mereka mendirikan candi semegah itu ?. tentunya pertanyaan itu sangatlah universal bagi kita namun jawaban dari pertanyaan itu belum tentu diketahui oleh khalayak.  Menurut catatan sejarah, candi dibangun untutuk memuliakan raja atau keluarga kerajaan ...

kita menua

bukankah kita menua dengan mimpi dan cita di hari kemarin, entah itu masih berupa cita dan mimpi atau telah berwujud nyata atau bahkan telah menjadi nestapa. masihkah tekejar mimpi itu, rasanya baru kemarin sore mimpi itu terucap, hari ini, haruskah mimpi itu pergi bersama muda yang telah diganti tua? rasanya baru kemarin sore mimpi itu terasa begitu dekat namun mengapa sampai kita menua, bahkan mimpi itu tak kunjung menghampiri? mungkin sore itu mimpi terucapkan, namun saat menantinya, ia sempat terlupakan terlupakan sejenak, bersama khilaf dan kebahagiaan sesaat yang sesat. kini di saat ingin kembali ke jalan mimpi, entah mengapa terasa begitu terlambat, bukan karena mimpi itu pergi jauh meninggalkan tapi karena langkah ini terlalu jauh melenceng. dulu, andai saja setelah mimpi kemarin sore itu terucap, dan  khilaf tak datang, tak meninggalkan fokus, mungkinkah mimpi itu lebih dekat dan selangkah lagi, kini, saat ini, masih adakah sesinggung mimipi kemarin ...