Langsung ke konten utama

Postingan

Puasa Sosmed

Dimasa Pandemi ini kt dituntut untuk tdk beraktivitas diluar, membatasi perjalanan, dan menjaga jarak dengan org lain secara fisik, membuatku lbh banyak mengenggam smartphone apa-apa dgn smartphone, akhirnya beraktivitas dengan perangkat laptop atau smartphone sampai2 aku merasa ini semua sdh tdk benar, sebab sudah berefek pada pola tidur ku yg tidak teratur, sdkt2 mengenggam smartphone, sdkt2 ingin melihat sosial media,  lalu tak jarang dan tak sengaja mengabaikan interaksi dgn keluarga di rumah.  sampai akhirnya aku memutuskan untuk puasa instagram, di bulan puasa bulan ramadhan.  hari pertama kedua memang terasa sulit, rasanya ingin menginstal Instagram kembali, penasaran dgn apa saja serba serbi di instagram hari inj, tp hari berikutnya jd biasa saja. aku menonaktifkan akun instagram sebulan penuh. twitter ttp aktif sbg sumber berita dan wa ttp aktif utk komunikasi tentunya dan hasil yg kurasakan cukup signifikan aku bs lbh fokus dgn apa yg ingin aku lakukan dlm 1 hr drpd sibuk men
Postingan terbaru

Di Masa Pandemi

di masa pandemi ini, untuk beberapa orang mungkin menjadi masa-masa yang sulit tapi untuk beberapa orang juga mungkin menjadi momen untuk hal baru aku sendiri melewatinya begitu berat diawal, namun setelah balik lagi dan mencoba untuk merenungi tetap selalu yang didapatkan adalah.... Kuasa Allah sungguh luar biasa tetap hal yang selalu dikatakan pada akhirnya adalah Ya, inilah hal terbaik yang Allah berikan. terkadang memang begitu sulit dilalui disaat itu namun setelah bertemu hal dikesudahan maka akan tercipta syukur yang teramat takjub dengan bagaimana kemudian takdir 1 orang berjalan, bertalian dengan takdir orang lain sinkron dengan beberapa orang, terkoneksi satu dengan yang lain, membentuk jaringan dan cipta yang begitu mengesankan itulah harmoni Tuhan untuk masa sulit yang telah dilewati, untuk masa sulit yang masih dijalani mungkin tidaklah sulit, kita saja yang membuat sulit disebabkan ekspektasi yang begitu tinggi cukup dilakoni, jika tidak sesu

Terenyuh

aku kemarin sore mengikuti kajian bersama kawan kami datang terlambat, kajian sudah berlangsung 1 jam yang lalu, masih ada 1 jam kajian tersisa yang bisa kami ikuti. kajian hari itu tentang Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah selama mendengarkan kajian, sesekali melihat orang sekeliling yang duduk bersama dalam kajian itu, hatiku berdesir, sadar diri, dan bebisik dalam hati "betapa dangkal ilmu ini, betapa dangkal pengetahuan diri tentang islam" beberapa kali menahan air mata, entah kenapa rasanya sedih sekali bukan karena mendengar kisah yang diceritakan dalam kajian itu rasanya haru menyadari diri dulu begitu jauh dulu mengira diri sudah islam ternyata hanya islam keturunan saja aku suka matematika aku suka bermain logika dan bodohnya islam ku sandingkan dengan logika ku yang tak seberapa ini bodoh bukan. masih dalam kajian, sambil mendengarkan kajian tentang Umar bin Khattab dan pedagang susu, aku menghitung umur yang sudah lebih dari seperempat ab

Aku kenapa?

Terkadang aku iri dengan bagaimana orang lain menikmati hidupnya yang sedemikian rumit, karena aku merasa aku tak bisa Terkadang aku terdiam, menontoni betapa asyiknya orang lain melakoni perannya Terkadang aku merasa tak sungguh-sungguh dengan apa yang kulakukan, Terkadang aku merasa betapa tidak asyiknya aku melakoni peranku sendiri Aku selalu iri melihat foto atau postingan orang lain tersenyum sumringah setelah berlelah-lelah, atau mungkin mereka tak merasa lelah Sedangkan aku selalu merasa lelah, Disaat aku mulai merasa lelah, disaat itu hatiku berbisik mungkin aku kurang ikhlas berbuat, Mungkin aku tak sepenuh hati berbuat Mungkin yang kuperbuat hanya latah dari apa yang orang lain perbuat Mungkin. Lalu, Aku kenapa ?

Malam begini

Malam ini sendu Terdengar dentang jam Sunyi Hanya ada suara angin Sepi Tapi ku mendengar suaramu Entah dari frekuensi mana Hening Bergema suaramu Aku diam Menikmati suaramu Aku rindu Mendengar suaramu Mungkin aku salah Salah frekuensi Darimana suaramu Malam ini sepi Kau pun pergi Aku sendiri Hanya menyepi Nafasku berat Pelan Kuhembuskan Hanya kau pergi Dan aku disini Aku rindu

Merintis Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Papua

Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Somografi, perbatasan Papua Letak geografis dan belum terbukanya akses jalan menyebabkan kampung Somografi sedikit terbelakang dibanding kampung lain. Guru Gody bersama murid SD YPPK Akarinda Somografi, Carlos dan Hasan  Semangat dari Pak   Gaudif Fridus Usna’at , atau yang akrab disapa Guru Gody, pengajar di  SD YPPK Akarinda Somografi membuat Tim Nusantara Sehat Puskesmas Ubrub berinisiatif mengumpulkan buku sebagai media informasi edukasi bagi anak-anak. Awalnya kami mengumpulkan buku-buku bacaan dari kerabat dan teman-teman, sampai pada akhirnya dr. Lilis Sinambela menemukan akun BUP (Buku Untuk Papua), mendapatkan kontak foundernya, Dayu Rifanto, atau yang hangat disapa Mas Dayu, yang ternyata berasal dari Nabire Papua, lalu kerjasama pun terjalin untuk mendirikan rumah baca. Melalui Buku Untuk Papua, kampanye donasi yang dibuka di situs kitabisa.com memperoleh apresiasi tinggi dari donatur diseluruh Indonesia. Hampir 400jenis

Oh, Papua

Bercerita tentang hidup di papua sama dengan terbenam kembali dalam emosi yang tak terkira. Bahagia berselimut lega, miris, haru, sedih, tercengang, ya, tercengang bahwa di dunia dengan segala   fasilitas, dan kecanggihan teknologi, ada daerah di Indonesia yang masyarakatnya masih menggunakan langit-sinar matahari sebagai pedoman waktu. Seperti di Kampung Yamrab, Somografi, Tatakra dan Pafinimbu yang masyarakatnya masih berpedoman pada sinar matahari. Jikalau langit masih gelap semisal awan mendung menutup matahari, sebagian masyarakat masih mendekap di rumah dan tidak melakukan aktivitas apapun, karena mengira waktu masih dini hari, belum pagi katanya . Era Global, disaat manusia modern diluar sana bergonta-ganti gadget, berlomba-lomba berinvestasi, menanam saham, memuaskan diri dengan traveling, shopping, mengansuransikan diri bahkan binatang peliharaan. Di pedalaman Papua kalian akan memasuki dimensi yang berbeda, saya menyebutnya zaman megalitikum dimana orang-orang bertahan