Langsung ke konten utama

Oh, Papua


Bercerita tentang hidup di papua sama dengan terbenam kembali dalam emosi yang tak terkira. Bahagia berselimut lega, miris, haru, sedih, tercengang, ya, tercengang bahwa di dunia dengan segala  fasilitas, dan kecanggihan teknologi, ada daerah di Indonesia yang masyarakatnya masih menggunakan langit-sinar matahari sebagai pedoman waktu. Seperti di Kampung Yamrab, Somografi, Tatakra dan Pafinimbu yang masyarakatnya masih berpedoman pada sinar matahari. Jikalau langit masih gelap semisal awan mendung menutup matahari, sebagian masyarakat masih mendekap di rumah dan tidak melakukan aktivitas apapun, karena mengira waktu masih dini hari, belum pagi katanya.

Era Global, disaat manusia modern diluar sana bergonta-ganti gadget, berlomba-lomba berinvestasi, menanam saham, memuaskan diri dengan traveling, shopping, mengansuransikan diri bahkan binatang peliharaan. Di pedalaman Papua kalian akan memasuki dimensi yang berbeda, saya menyebutnya zaman megalitikum dimana orang-orang bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Di pedalaman Papua, saudara kita berlomba-lomba berburu di hutan untuk mengisi perut di hari itu, mengumpulkan apa yang bisa dimakan di hutan, mengumpulkan kayu untuk dipakai memasak atau menghangatkan diri dari dinginnya hawa malam daerah pegunungan Papua. Itulah kehidupan mereka. Mereka memang hidup di hutan, naik turun gunung, membelah hutan belukar, bersahabat dengan sungai, menyatu dengan alam. 

Sempat saya berbenak, kog bisa mereka hidup seperti itu, dan disaat itu juga saya mengutuk diri sendiri, bodoh. Sejak lahir mereka hidup di hutan dan gunung, tidak ada pembanding, jadi itulah hidup yang mereka jalani. Tanpa gadget, tanpa semua hal-hal canggih yang ada sekarang. Keadaanya akan berbeda ketika seorang yang dari Era Global tiba-tiba mendarat di pedalaman papua, tanpa signal, tanpa listrik, tanpa semua hal-hal yang biasa dan bisa kita dapatkan di Kota, bisa bayangkan bagaimana menghadapi nya, begitu sudah.

Jujur saja, berada dan hidup di Papua menjadi salah satu, yah mungkin bisa dikata sebagai, titik balik buat saya. Dan menjadi pengingat buat saya untuk selalu bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang telah kita dapatkan. saya sangat luar biasa anehnya, melebihi anehnya orang-orang yang tersenyum, tertawa bahkan menangis saat berhadapan dengan smartphonenya. Mungkin terkesan mendramatisir, tetapi setiap saya mengingat, menceritakan pengalaman ini ke orang lain, dan sekarang mulai terpanggil untuk menuliskannya disini, emosi berkecamuk dalam diri saya, sesekali hati saya terasa berdesir, bulu kuduk saya berdiri, sesekali menarik nafas dalam dan menghela nafas panjang, senyum-senyum sendiri, bahkan sesekali kembali merasakan euforia kebahagian bersama mereka. Oh, Papua. Dan lagi-lagi saya merasa hati dan pikiranku jauh disana meninggalkan ragaku disini.

So, Do you get my point ?

Saya tidak ingin merubah sesuatu apapun disana (lagipula apa yang bisa saya rubah ?) hidup bersama alam itu sungguh menyenangkan kawan, dibanding hidup dengan robot berjalan dengan berlembar-lembar kertas bertuliskan angka yang bisa menyulap manusia (?) menjadi penjilat, sadar tidak sadar menjadi penindas bahkan, maaf, pembunuh.
(jujur sekarang gw menangis cuy, cengeng) 

. . .

Dikepala saya cuma satu, kalau mereka hidup seperti ini terus-menerus, generasi mereka akan punah, musnah, tak bersisa (lebay yak) tergerus oleh zaman. Jadi, bagaimana cara agar mereka tidak seperti yang saya bayangkan ?, saya belum terpikirkan sesuatu yang hebat, apalah saya, yang bisa saya dan teman-teman lakukan hanya memberi tahu apa yang belum mereka tahu dan berharap dapat mereka pahami, menjadi penyalur pemenuhan hak yang bahkan mereka tidak tahu menjadi hak mereka,  yah, itu saja. Menurut kalian bagaimana? Mungkin ada diantara kawan yang mempunyai ide yang lebih cemerlang ?
 
Mama e.... ini kita berbicara tentang satu keadaan di Papua, belum saudara kita yang belum merdeka, diperangi, kelaparan, dan beragam dinamika kehidupan yang terjadi di luar sana. Complicated (Sok usap keringat 😅). Untung saya tidak jadi Presiden, kalau iya, bisa jadi akan ada yang berdoa “Gemukkanlah Dian, perbaikilah status gizinya yang buruk menjadi baik” 😆😆 

Anak-Anak Yamrab Papua

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merintis Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Papua

Jendela Somografi, rumah baca anak-anak Somografi, perbatasan Papua Letak geografis dan belum terbukanya akses jalan menyebabkan kampung Somografi sedikit terbelakang dibanding kampung lain. Guru Gody bersama murid SD YPPK Akarinda Somografi, Carlos dan Hasan  Semangat dari Pak   Gaudif Fridus Usna’at , atau yang akrab disapa Guru Gody, pengajar di  SD YPPK Akarinda Somografi membuat Tim Nusantara Sehat Puskesmas Ubrub berinisiatif mengumpulkan buku sebagai media informasi edukasi bagi anak-anak. Awalnya kami mengumpulkan buku-buku bacaan dari kerabat dan teman-teman, sampai pada akhirnya dr. Lilis Sinambela menemukan akun BUP (Buku Untuk Papua), mendapatkan kontak foundernya, Dayu Rifanto, atau yang hangat disapa Mas Dayu, yang ternyata berasal dari Nabire Papua, lalu kerjasama pun terjalin untuk mendirikan rumah baca. Melalui Buku Untuk Papua, kampanye donasi yang dibuka di situs kitabisa.com memperoleh apresiasi tinggi dari donatur diseluruh Indonesia. Ha...

Borobudur warisan bersejarah

Nah ini nih ! Warisan bersejarah yang patut dilestarikan. Nenek moyang kita ternyata mempunyai peradaban yang tinggi,ini terbukti. Dengan adanya peninggalan-peninggalan bersejarah, antara lain bangunan-bagunan, benda-benda,perhiasan, dan karya sastra. Kita patut bangga mempunyai peninggalan sejarah yang tidak dimiliki oleh negara lain, contoh yaitu Candi. Candi Borobudur dan Prambanan merupakan contoh kecil paninggalan sejarah yang bernilai luhur terkenal sejagad raya. Bayangkan saja, tahun 800-an bukan zaman orang mengenal teknologi secanggih saat ini, tetapi nenek moyang kita mampu membuat bangunan semegah candi borobudur, lalu bagaimana cara pembuatannya ? siapa yang memiliki gagasan membuat candi semegah itu ?, dan untuk apa mereka mendirikan candi semegah itu ?. tentunya pertanyaan itu sangatlah universal bagi kita namun jawaban dari pertanyaan itu belum tentu diketahui oleh khalayak.  Menurut catatan sejarah, candi dibangun untutuk memuliakan raja atau keluarga kerajaan ...

kita menua

bukankah kita menua dengan mimpi dan cita di hari kemarin, entah itu masih berupa cita dan mimpi atau telah berwujud nyata atau bahkan telah menjadi nestapa. masihkah tekejar mimpi itu, rasanya baru kemarin sore mimpi itu terucap, hari ini, haruskah mimpi itu pergi bersama muda yang telah diganti tua? rasanya baru kemarin sore mimpi itu terasa begitu dekat namun mengapa sampai kita menua, bahkan mimpi itu tak kunjung menghampiri? mungkin sore itu mimpi terucapkan, namun saat menantinya, ia sempat terlupakan terlupakan sejenak, bersama khilaf dan kebahagiaan sesaat yang sesat. kini di saat ingin kembali ke jalan mimpi, entah mengapa terasa begitu terlambat, bukan karena mimpi itu pergi jauh meninggalkan tapi karena langkah ini terlalu jauh melenceng. dulu, andai saja setelah mimpi kemarin sore itu terucap, dan  khilaf tak datang, tak meninggalkan fokus, mungkinkah mimpi itu lebih dekat dan selangkah lagi, kini, saat ini, masih adakah sesinggung mimipi kemarin ...